Sabtu, 07 Januari 2012

The First And The Last Touch

                 Malam hari dengan udara yang begitu menusuk. Disebuah rumah kecil yang ditempati oleh suami istri muda yang sedang mendambakan kehadiran seorang anak tampak tegang. Alvin, suami Sivia tengah bingung, resah, kesal, sambil terus memandang istrinya. Entah problem apa lagi yang harus dihadapi keluarga mereka saat ini.

                Seandainya saja dia bisa bicara, dia pasti akan lebih mudah berkomunikasi, menumpahkan segala amarahnya, kegundahannya kepada suami tercintanya. Namun, apa daya. Tuhan sudah mentakdirkan dirinya untuk tidak dapat berbicara untuk selamanya. Untuk mengucapkan kata ‘sayang’ yang tulus dari dalam hati saja dia tidak bisa.

                Aku juga ingin merawat anak kita, seperti ibu-ibu yang lain. Tapi aku takut.

                ”Kenapa kau mesti takut?” Alvin meremas rambutnya.

                Aku takut anak kita nanti tidak bisa menerima keadaanku dan dia jadi malu.

                “Aku menerima apa adanya diri kamu. Kekuranganmu merupakan kelebihan yang akan terus aku tanamkan. Kebaikanmu adalah sebuah anugerah nanti baginya. Kau bisa mengajarkannya apa bagaimana menjadi wanita yang baik”

                Sivia menggelengkan kepalanya.

                Kamu harus rawat anak kita dengan baik. Aku akan tinggal bersama orang tuaku. Jangan pernah pertemukan aku dengannya.

                Alvin frustasi. Dia menggebrak meja.

                “Kau akan menyiksanya! Apa yang harus kukatakan kalau dia bertanya tentang bundanya?!”

                Sivia tersenyum.

                Kamu bilang saja kalau aku sudah meninggal.

                Kata-kata itu bagaikan bencana besar yang dialami Alvin. Lebih dahsyat akibatnya dari bom Hiroshima dan Nagasaki di Jepang. Tidak hanya fisik yang melelahkan, tetapi juga hati harus ikut berjuang untuk menerima keadaan.

                Alvin sudah tidak tahu apa yang akan dia katakan lagi. Yang bisa dilakukannya hanya menganggukkan kepalanya. Setuju. Kalau hanya itu yang dapat mengakhiri perdebatannya dengan istrinya. Kalau itu juga dapat membuat istrinya bahagia.

                Terima kasih
***
                Fajar menyingsing kegelapan. Menyuruh para makhluk nocturnal untuk menghentikan aktivitasnya. Serangkain sinar putih sedikit demi sedikit bermunculan. bulan sedikit demi sedikit terkalahkan sinarnya.

                Disebuah rumah sakit bersalin, lahir seorang bayi seberat 3,2 kg dan panjang 50 cm dengan keadaan sehat wal afiat. Tanpa cacat dan kekurangan sedikitpun. Dengan wajah yang amat bersinar, dengan kulit putih bersih dan mulus. Bayi perempuan itu sungguh sangat sempurna.

                Sivia menghela napas, lega. Dokter memintanya untuk menggendong bayi menggemaskan itu. Tapi dia menolak. Ia menganggap dirinya yang hina itu tidak bisa menyentuh anak sesempurna dan sesuci itu.

                Bayi itu kemudian dibawa ke kamar khusus. Disana suster bertugas untuk mebersihkan bayi itu dari nifas ibunya. Memandikannya agar bayi itu wangi dan lebih elok lagi.

                Alvin memasuki kamar itu. Senyum mengembang diwajahnya, namun aliran air mata mengalir dipipinya. Membasahi wajah tampan itu. Mengurung salah satu kebahagiannya. Menjadikannya seperti makhluk yang berdosa.

                Alvin mengangkat Bayi itu dari Box. Dia menggendong dengan tulus. Buah hatinya yang sangat sempurna. Cantik, putih, lucu. Persis seperti ibunya yang merupakan wanita yang dia kasihi sampai akhir hidupnya. Wanita yang memakai banyak ruang dihatinya.

                Bayi itu menggeliat. Menjulurkan lidahnya. Alvin tertawa kecil melihatnya.

                Alvin tersenyum. Memegang dengan pelan puncak kepala bayinya. Mencium dengan hangat buah hatinya. Mencubit dengan pelan juga, pipi anaknya.

                “Nama kamu Oik ya? Oik Cahya Ramadlani”
***
15 tahun kemudian ..

                “Papaps. Oik duluan ya? Udah ada Cakka tuh didepan. Ya Paps?” teriak gadis yang berpakaian seragam SMA dengan tas putih yang dicangklokkan dipunggungnya.

                Alvin yang mendengar teriakan gadis remajanya, berlari. Menuruni anak tangga sambil terus memanggil anaknya. Penampilannya pagi ini agak berantakan. Kemeja birunya yang masih kusut dia pakai. Celana hitamnya belum terresleting dengan sempurna. Dasi yang dikenakannya masih berantakan.

                “Pergi sama papaps aja ya sayang?” ujar Alvin sambil sesekali membungkukkan badannya karena kelelahan berlari.

                Oik, anaknya mengernyitkan dahi. Memperhatikan penampilan ayahnya dari atas sampai bawah. Tiba-tiba Cakka, pacarnya sudah ada disampingnya. Ikut mempraktikkan apa yang sedang dilakukan Oik. Kemudian mereka berdua tertawa pelan.

                “Om, penampilan Om tuh kayak mau pergi ngamen! haha” Cakka tertawa tanpa sadar. Oik menyikut tangannya. Menyuruhnya untuk tetap diam.

                Alvin terlihat bingung. Kemudian dia memperhatikan penampilannya kembali.

                Sontak, dia tertawa. Tersipu malu. Kemudian menyuruh Oik dan Cakka untuk segera pergi kesekolah.

                “Suruh Bi Inem setrika baju Papaps dulu. Tadi sarapan udah Oik siapin. Oik pergi dulu ya Paps!” Ujar Oik sambil menarik tangan Cakka keluar dari rumahnya.

                “Papa kamu aneh!” bisik Cakka sambil tertawa kecil.

                Oik menempelkan jari telunjuknya didepan bibir.
***
Disebuah rumah.
                Sivia mengambil handphonenya. Membaca kata demi kata yang tertera dilayarnya.

                Dari Alvin :

                Dia memanggilku Papaps. Lucu ya?

                Dia sudah bisa menyiapkan sarapan pagi untukku. Betul-betul persis mamanya.

                Berbahagialah, dia tumbuh dengan sempurna. Persis denganmu waktu dulu.

                Dia sudah punya pacar. Namanya Cakka. Aku jadi teringat dengan masa pacaran kita :*

                Dua bulan lagi hari ulangtahunnya. Kau tak ingin memberinya sebuah ucapan? Sekali saja.

                Sivia tersenyum. Membaca SMS terakhir itu sambil menggelengkan kepalanya. Tak ada yang dapat membuatnya sebahagia sekarang selain membaca sederetan pesan singkat dari Alvin tentang anak yang tak pernah dirawatnya, dibelainya, digendongnya. Sungguh, dia lebih bahagia melihat anaknya tidak mengetahui dirinya daripada harus malu mengetahui ibunya seorang yang cacat.

                Sekarang dia tinggal bersama ibunya. Ibu yang sangat dikasihinya. Ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Terkena serangan jantung yang sejam kemudian membuatnya tak kuat lagi untuk menghirup udara.

                Ibunya masuk. Dengan lembut dia membelai Sivia.

                Bu, Aku ingin bertanya.

                “Bertanya lah Nak.”

                Apakah sakitku ini tidak akan mempengaruhi pertumbuhan anakku kelak?

                Ibunya menggelengkan kepalanya.

                Miris. Miris sekali melihat seorang Ibu yang tengah berjuang membahagiakan anaknya tanpa harus disampingnya. Miris, melihat keadaan anaknya yang bertahun-tahun lamanya harus menanggung beberapa penyakit yang sangat ganas.

                Bisu, itu sudah merupakan penderitaan baginya dan anaknya. Sekarang? Dokter memvonis Sivia mengidap Kanker darah stadium 3.

                Ibunya menangis. Beliau mendekap dengan lembut anaknya.

                “Kapan kamu mau bertemu dengan anakmu?” Tanya ibunda Sivia.

                Sivia tersenyum. Dia lebih senang dengan keadaannya dan anaknya sekarang.

                Aku tidak tahu Bu..
***
                Oik mengaduk-aduk makanannya. Dia terus saja melamun. Memperhatikan seorang Ibu dengan anaknya yang sedang makan berdua. Ibunya tengah asik menyuap anaknya, sambil beberapa kali tertawa melihat kelakuan anaknya yang tengah bermain pesawat-pesawatan. Anak itu makan dengan lahap makanan yang dibuatkan ibunya.

                “Pasti asik sekali ya?” Ujar Oik tanpa sadar.

                Cakka membawa 2 gelas coklat panas ditangannya. Kemudian diletakkannya minuman itu di depan Oik. Oik terus saja melamun dan tak menyadari kehadiran Cakka. Cakka jadi keheranan dan mencari kemana Pandangan Oik sedang tertuju.

                Setelah mengetahuinya, Cakka tersenyum. Mengacak-acak rambut Oik yang membuat Oik tersadar dari lamunannya.

                “Ih Cakka. Gitu deh!” Ujarnya sembari memperbaiki rambut hitam legamnya.

                Cakka tertawa. Kemudian dia menjulurkan tangannya didepan tangan Oik.

                “Kita pergi yuk!” ajak Cakka.

                Oik tak mengerti, hanya menggulung dahinya.

                “Pergi kemana?”

                Cakka kembali tersenyum. Dia mengambil dua gelas coklat panas itu.

                “Ke Panti Asuhan Bundaku. Disana banyak kok anak yang tidak seberuntung dirimu. Kamu masih punya anak. Masih punya foto Bunda kamu. sedangkan mereka? Wajah orangtuanya saja mereka tidak tahu. Mereka juga pasti terus bertanya-tanya tentang orangtua mereka.”

                “Kamu mau berbagi kebahagiaanmu kepada mereka atau tidak?” Tanya Cakka.

                Oik mengangguk dengan semangat.
***
                Sivia menjalani terapinya hari ini. Tidak ada yang berbeda. Setiap pergi terapi dia ditemani oleh ibundanya tercinta. Masih tak didampingi dengan anak dan suami yang masih bisa sebenarnya menemaninya untuk terapi.

                Ibunda Sivia melepaskan pegangan tangannya. Melepas pegangan tangannya yang sebetulnya yang pegangan yang terakhir kali yang dapat dibalas Sivia.

                Sivia memasuki kamar terapinya. Dia memejamkan matanya. Tersenyum. Senang, karena pasti dia akan memimpikan anaknya. Mengingat wajah anaknya untuk yang terakhir kalinya. Dan dia tak pernah menyadari itu.

                Bahwa, ada kata terakhir didunia ini.
***
                Alvin mengangkat ponselnya yang bergetar disaku celananya. Untuk beberapa menit membatalkan rapat direktur perusahaan besar yang sedang dipimpinnya. Mengangkat telepon dari seoarang wanita paruh baya yang merupakan mertuanya sendiri.

                “Alvin.. Sivia..”

                “Sivia kenapa Bu?”

                “Dia mengidap penyakit kanker darah stadium 3. Kemarin dia menjalani terapi. Tapi, tak ada yang menyangka. Stadium kankernya naik dan..” Terdengar suara sesunggukkan dari ujung telepon itu.

                “Dia sedang dalam keadaan koma sekarang. Dokter bilang, waktu hidupnya hanya 24 jam” Terdengar lagi suara isak tangis.

                Alvin menahan nafas.

                “Tolong bawa cucuku kesini.”

                Kata-kata itu yang dari dulu Alvin sudah nantikan. Akhirnya terucap juga. Walaupun keadaannya sekarang tak menyempatkannya untuk tersenyum.

                Dengan segera dia bergegas meninggalkan perusahaannya.
***
                Oik tengah serius memperhatikan pelajarn Sejarah yang sedang diajarkan oleh gurunya.

                “Kalian tau? Hari Ibu diperingati pada tanggal 22 Desember karena pada tahun 1928 berdiri sebuah organisasi, atau gerakan para wanita Indonesia yang tengah berjuang meraih kemerdekaan Indonesia. Gerakan ini merupakan Gerakan yang dipelopori oleh para pejuang wanita Indonesia. Nama Gerakannya adalah Perserikatan Perempuan Indonesia. Selain itu.. Sebentar anak-anak”

                Omongan Gurunya terpotong karena kedatangan seorang Guru Piket yang membawa surat izin untuk Oik. Terlihat mereka berbincang sebentar dan mempersilahkan Oik untuk ikut gur piket itu.

                Tentu saja Oik bingung. Kejadian ini sangat mendadak baginya. Hal penting apa yang membuatnya harus meninggalkan sekolahnya. Dan, pertanyaan itu terus  terpendam di dalam kepalanya.

                Mereka sampai diruang guru. Disana terduduk Alvin yang sedang gelisah. Melihat putrinya sudah ada dihadapannya, Alvin segera memeluk putrinya.

                “Papaps kenapa?” Tanya Oik yang masih belum pulih dari kebingungannya.

                Alvin tak menjawab. Ia dengan segera mengucapkan terima kasih kepada guru Oik. Dan bergegas  meninggalkan sekolah Oik.
***
                Oik makin bingung, setelah sampai di moil, Alvin terus menerus diam. Namun, wajahnya menunjukkan raut cemas.

                “Ada hal penting apa sih?” Tanya Oik dalam hati.

                Dan yang membuat Oik makin bingung adalah saat Alvin memasukkan mobilnya disebuah rumah sakit besar. Di Palang rumah sakit itu tertulis ‘International Jakarta Hospital’.

                Oik makin bertanya saat Alvin dengan cepat menariknya. Memegang dengan erat dirinya. Mencengkram dengan kuat tangannya. Tanda Tanya besar semakin memenuhi pikiran dan hati Oik.

                Sesampainya mereka disebuah lorong rumah sakit. Alvin dengan segera menjauh dari Oik. Menyuruh Oik untuk menunggu di lorong ini.

                Alvin mengambil Handphonenya. Untung saja nomor Ibunda Sivia belum terhapus. Ia dengan segera menelponnya untuk mencari tahu kamar perawatan Sivia.

                Kamar Cendana, Vip 5

                Alvin kembali ke tempat dimana Oik menunggu. Kemudian dia mendapati Oik sedang ngobrol dengan seseorang.

                “Ayo cepat. Kita tidak punya waktu banyak. Maaf Mas, saya dengan anak saya harus segera pergi” Alvin berkata dengan cepat.

                Oik mengernyitkan dahinya. Kemudian memberikan salam perpisahan untuk orang yang tadi diajaknya bicara.

                “Paps, orang itu bilang, aku bakal menemukan hal yang membahagiakan disini. Betulkah itu?” Tanya Oik hati-hati.

                Alvin tidak menjawab. Dia tergesa-gesa mencari kamar perawatan Sivia.

                Akhirnya tiba disebuah lorong.

                Alvin melihat Ibunda Sivia sedang duduk. Beliau ditemani seseorang. Seorang Ibu paruh baya. Yang sepertinya, terlihat dari raut wajahnya bernasib sama.

                Alvin menghampiri Ibunda Sivia. Kemudian menyuruh Oik untuk salaman dengan Ibunda Sivia yang notabene Neneknya kandungnya sendiri.

                Ibunda Sivia tersenyum. Beliau dengan lembut mencium kening Oik. Oik kembali bertambah bingung dengan semua ini.

                “Cucuku sudah bertambah besar ya sekarang? Cantik persis Bundanya.”

                Oik melongo kaget mendengar pernyataan Ibu-ibu dihadapannya. Ibu-ibu yang dianggapnya aneh.

                “Paps, jelasin semuanya ke aku!” Akhirnya rasa bingung dan rasa penasaran Oik menguak.

                Ibunda Sivia tersenyum. Beliau lalu merangkul dengan hangat Oik.

                “Mari masuk. Biar Nenek dengan Papa kamu yang bakal jelasin semuanya didalam”

                Ibunda Sivia pamit dengan teman mengobrolnya tadi. Mereka bertiga lalu masuk keruangan itu.

                Oik masuk pertama. Udara dingin dari hawa Air Conditioner menyebak hidungnya. Bau Alkohol yang sangat menyengat mengganggu penciumannya. Lantai putih menampilkan cerminan dirinya. Kesan pertama yang dikeluarkannya : WOW

                Ibunda Sivia menyuruhnya untuk berjalan. Melihat seseorang yang tengah terbaring lemah diatas ranjang dengan selang-selang rumah sakit yang membantu orang itu hidup. Belalai-belalai peralatan yang terhubung dengan badannya. Membuat Oik miris melihat itu.

                Yang terbaring itu terlihat tersenyum. Senyum yang damai dalam tidurnya. Senyum kebahagiaan. Yang tidak disangka adalah : dia menyadari kehadiran seseorang yang sangat disayanginya.

                Semua hal ini terasa miris dihati Oik. Dia memeluk erat Papanya. Tak sanggup melihat wanita yang terbaring diranjang ukuran sedang tersebut.

                Dia mengenali wanita itu. Dengan senyum hangat diwajahnya. Dia mengenali wanita itu. Dengan mata teduh yang dia punya. Dia mengenali wanita itu, Hidung yang sama dengan dirinya. Dia mengenali wanita itu..

                Wanita yang sudah memberikannya waktu untuk hidup dan menikmati dunia ini.

                Oik tahu. Wanita itu adalah Sivia Azizah. Ibunda terkasihnya. Ibunda yang selalu disayangnya. Ibunda yang selalu ditangisinya. Ibunda yang ternyata masih hidup.

                Alvin balas memeluk Oik. Dipelukannya, Oik tersengal. Pelan. Sesunggukkan keras.

                Dan, Sivia pun dalam tidurnya, mengeluarkan air mata.

                “Itu adalah Ibundamu sayang. Maafin Papaps yang mengucapkan kata-kata hina itu. Maafkan Papaps.” Pinta Alvin.

                Oik tetap memelukanya. Malah makin erat.

                “Sewaktu bayi, Mama kamu bilang. Suruh Papaps berjanji. Dia takkan mau bertemu denganmu. Bukan karena dia benci kepadamu. Sungguh Nak, kalau didunia ini ada yang bilang dia sangat menyayangimu, maka itulah Mama kamu.”

                Oik melepaskan pelukannya. Memukul-mukul Papanya.

                “Papaps Jahat!” Teriaknya.

                Alvin kembali memeluknya. Kemudian dia melirik ke arah mertuanya.

                “Maafin Oik Bu”

                Ibunda sivia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

                “Pegang Mama Nak. Pegang erat dia. Katakan kamu sayang kepadanya. Katakan kamu bangga punya Ibunda sepertinya. Minta dia untuk bangun Nak”

                Alvin melepaskan pelukannya.  Membiarkan Oik melakukan apa yang menjadi kewajibannya sekarang.

                Sivia terbaring lemah. Tetap menutup matanya. Senyum sudah tak terpampang diwajahnya. Berganti menjadi tangis. Air mata yang mengalir di pipinya.

                Oik menghampirinya. Memegang tangan itu dengan erat. Memegang tangan wanita yang telah mengorbankan hidupnya demi dia.

                “Mama, Aku sayang Mama. Mama dari mana saja? Oik kangen Mama. Oik sayang Mama. Mama bangun sekarang. Mama jangan tinggalin aku.” Oik mengucapkan kalimat singkat itu sambil menangis. Dia terus memegang tangan Sivia.

                Sivia meneteskan air matanya lagi dalam tidur damainya.

                “Mama aku tau. Kata Papaps, Mama bisu ya? Mama tuh hebat! Sekalipun Mama bisu, aku akan bangga punya Ibu kayak Mama.” Oik mengelap air matanya.

                “Mama tuh bodoh ya? hehe. Mama kok beranggapan aku bakal malu punya Ibu kayak Mama? Mama tuh hebat! Hebat banget!”

                Sivia tersenyum lagi. Air mata masih mengalir dari pipinya.

                Tangannya terus digenggam dengan erat oleh Oik. Dalam tidurnya pun, Sivia membalas genggaman anak terkasihnya itu.

                Tit.. Tit..

                Bunyi itu makin melemah. Namun, dalam ruangan ini, mereka tak meyadari kehadiran suara itu.

                Mereka bertiga terlarut. Memberikan apresiasi kepada wanita hebat yang tengah terbaring lemah. Wanita yang tengah mempertaruhkan hidupnya.

                Tit.. Tit..

                Bunyi itu semakin lemah. Bersamaan dengan itu, genggaman Sivia mulai mengendur. Air matanya berhenti mengalir. Senyum menggantikan wajahnya.

                TIIIIIIT….

                Bunyi monitor yang sangat panjang membuat ruangan tersebut menegang. Mereka seakan membeku. Tak ada yang berani bergerak dari tempatnya.

                Mereka tak ingin meninggalkan Sivia yang tengah dalam proses meninggalkan mereka.

                Tak lama kemudian, Sivia melepaskan genggamannya. senyumnya semakin terukir indah diwajahnya. Hembusan nafasnya sudah tidak ada.

                Sedetik kemudian, Oik menangis. Alvin menahan tangisnya. Ibunda Sivia segera memeluk Sivia.

                Tubuh itu sudah tak ada..

                Dia pergi..

                Itu adalah sentuhan pertama dan terakhir antar aku dan anakku. Aku sangat bahagia.             
***
                Oik termenung sendiri dipekarangan rumahnya. Sambil menatap Bunga Mawar dengan pandangan kosong. Kejadian 2 bulan yang lalu menyeruak diotaknya. Memflashback otaknya untuk mengingat kembali semua yang terjadi pada waktu itu.

                Cakka berjalan mendekatinya. Membawa sebuah handicam ditangannya. Kemudian menaruhnya dihadapan Oik.

                Terdapat sehelai kertas disana. Sehelai kertas dari tulisan seseorang yang membuat Oik tersadar dari lamunannya.

                Untuk Oik Cahya Ramadlani,
                Dari Mama Sivia.
***
Oik P.O.V.
                Aku meminta penjelasan dari Cakka. Dari mana dia menemukan Handicam itu.

                “Papa kamu yang berikan aku sewaktu dipemakaman itu. Beliau menyuruhky memperlihatkannya kepadamu saat dirimu berulang tahun. Dan kamu pasti lupa hari ini hari apa kan?”

                Aku menepuk jidatku. sedikit nyengir. Menyadari kebodohanku yang lupa akan ulangtahun sendiri.

                Aku membuka handicam itu. Menekan tombol on yang berada diatas handicam itu. Mencari file yang ada dalam handicam itu.

                Aku melihat foto Mama. Beliau dengan senyumannya, beliau yang sedang berkomunikasi dengan Oma, beliau yang sedang memasak, beliau yang sedang tidur.

                Aku tertawa sendiri saat melihat foto Mama yang sedang cemberut. Pasti Oma suka jahil deh dengan Mama.

                Ada salah satu file yang menarik perhatianku. Sebuah Video yang berjudul “Ulangtahun ke 15 anakku”

                Dengan segera aku dengan Cakka membuka video itu.

                Aku menahan napas. Baru kali ini aku melihat Mama yang bergerak. Aku terus memegang layar handicam itu. Mencoba merasakan sentuhan Mama.

                Hay, anakku yang bernama Oik Cahya Ramadlani.

                Mama menunjukkan ekspresi lucunya.

                Hari ini tanggal 22 Desember kan?

                Aku menganggukann kepalaku.

                15 tahun yang lalu, telah lahir bayi mungil seberat 3,2 kg dengan panjang 50 cm. Bayi yang lucu dan imut.

                Mama memeluk sebuah boneka panda yang sangat lucu.

                Maafkan Mama. Mama takut kamu gak mau nerima keadaan Mama nantinya.

                Aku menggelengkan kepala.

                Mama memang terlahir bisu. Tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Mama beruntung mendapatkan lelaki yang sangat baik seperti Papa kamu.

                Mama memang tidak bisa berbicara seperti ibu-ibu yang lainnya.

                Tapi Mama sangat menyayangimu. Mama rela melakukan apa saja yang dapat membuatmu bahagia.

                perlahan, aku menitikkan air mataku.

                Mama sampai takut kesucian kamu, ternoda oleh kecacatan Mama. Mama ingin kamu bahagia. Mama juga bahagia kalau kamu bahagia.

                Diluar sana, Tidak ada Ibu yang sempurna.

                Tapi, Mama akan menyayangimu dengan sempurna. Membahagiakanmu selalu.

                Aku menangis. Meraba-raba monitor handicam. Cakka merangkulku.

                Mama mengambil sebuah kertas.

                SELAMAT ULANGTAHUN OIK.
                MAMA BAHAGIA SUDAH MELAHIRKAN KAMU.
                JAGA BAIK-BAIK PAPA KAMU YA.

                Kata-kata itu membuatku menitikkan air mataku. Cakka semakin merangkulku dengan erat.

                Mama sayang kamu Nak.

                Video itu berakhir. Video yang berdurasi 5 menit. Video yang membuatku akan terus mengingat Mamaku tercinta.

                “Kamu yang sabar ya. Sebentar kita pergi ke Makam Mama kamu ya? Kita doakan supaya beliau tentram disana”

                Aku tersenyum mendengar ucapan Cakka. Dengan semangat aku menyetujui ajakannya.

                Tiba-tiba aku teringat dengan Papaps. Aku segera mengambil HP ku dan mengetikkan sesuatu di pesan singkat.

                Papaps, Makasi sudah jagain Oik

                Massage sent sucses
***
20 tahun yang lalu.
                “Hey, ada yang bisa kubantu?” Tanya Alvin kepada seorang gadis yang tengah mencari sesuatu.

                Gadis itu menoleh. Menyipitkan matanya. Memperhatikan penampilan Alvin dari atas sampai bawah. Gadis itu menggeleng lucu. Membuat Alvin menahan tawanya.

                “Jangan bilang kau mencari ini?” Alvin menunjukkan sebuah buku tulis.

                Gadis itu terlihat senang. Dengan cepat dia ingin menyambar buku itu. Tapi, Alvin dengan resenya menyembunyikan buk itu dibelakang badannya.

                “Beritahu namamu dulu baru aku kasih!” seru Alvin.

                Sivia menggaruk kepalanya. Bingung, bagaimana cara berkomunikasi dengan orang yang tidak tahu akan kekurangannya.

                Sivia menggerak-gerakkan jemarinya. Menunjukkan symbol-simbol yang paham dimengerti orang normal.

                “Maaf.. aku.. tidak.. bisa..?..bicara..” Alvin mengeja maksud Sivia.

                “Oh, Jadi kamu bisu ya?” Tanya Alvin.

                Sivia mengangguk malu.

                Alvin menyerahkan buku itu.

                “Tuliskan nama kamu sekarang. Namaku Alvin Jonathan”

                Sivia dengan senang menuliskan sebuah kalimat.

                Namaku Sivia Azizah. Dan maaf, Aku tak pernah menanyakan namamu.

                Alvin yang membaca kalimat Sivia jadi malu sendiri.
***
                huaaa cerpen gaje hhe -__-

                Cerpen ini kupersembahkan untuk Mamaku tersayang. Selamat Hari ibu :)

                Kasih sayangmu tak akan pernah terbalaskan meskipun aku memberimu semua hartaku.

                Terima kasih :)

                numpang pajang foto mama hehe :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar